Review Jurnal Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM

Ukuran Daya Saing Koperasi dan UKM

REVIEW JURNAL

Nama Kelompok:
Nuryana                                               25210226
Shinta Nur Amalia                            26210523
Yusuf  Fadillah                                   28210800
Yoga Wicaksana                               28210647
Crishadi Juliantoro                           21210630

UKURAN DAYA SAING KOPERASI DAN UKM
Abstrak
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi variabel-variabel atau indikatorindikator yang tepat untuk digunakan sebagai pengukur daya saing UKM dan Koperasi di Indonesia. Beberapa hasil penting dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Pertama, daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sedangkan, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis),ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dll. Kedua, indikator-indikator utama daya saing produk adalah antara lain pangsa ekspor, pangsa pasar luar negeri dan dalam negeri, nilai/harga produk, dan kepuasan consumen; sedangkan indikator-indikator utama daya saing perusahaan adalah antara lain, profit, sumber daya manusia (SDM),  pengeluaran R&D, dan jenis teknologi yang digunakan. Ketiga, pendorong utama daya saing perusahaan adalah SDM  (pekerja dan pengusaha), dan prasyarat utama untuk meningkatan daya saing perusahaan adalah pendidikan, modal, teknologi, informasi, dan input krusial lainnya. Tulisan ini merekomendasikan dua hal utama. Pertama, bantuan yang diberikan pemerintah selama ini harus berubah orientasinya dan sepenuhnya tertuju  pada upaya peningkatan kemampuan teknologi produksi, manajemen dan pemasaran dengan fokus utama pada capacity building dengan inovasi sebagai motor penggerak utama. .Kedua, pendekatan strategi untuk mendukung kebijakan tersebut adalah clustering
I.1 Latar Belakang
Dari perspektif dunia, sudah diakui bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) memainkan suatu peran yang sangat vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan  ekonomi, tidak hanya di negara-negara sedang berkembang (NSB) tetapi juga di negara-negara maju (NM). Di NM, UKM  sangat penting tidak saja karena kelompok usaha tersebut menyerap paling banyak tenaga kerja tetapi juga di  banyak negara kontribusinya terhadap pembentukan atau pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) paling besar dibandingkan kontribusi dari usaha besar (UB). Di dalam disertasinya Piper (1997), misalnya, dikatakan bahwa sebanyak 12 juta orang atau sekitar 63,2 persen dari jumlah tenaga kerja di Amerika Serikat (AS) bekerja di 350.000 perusahaan yangmengerjakan kurang dari 500 orang, yang di negara tersebut dianggap sebagai UKM. Menurut Aharoni (1994), jumlah UKM sedikit di atas 99% dari jumlah unit usaha di negara adidaya tersebut. Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan inti dari basis industri di AS (Piper, 1997). UKM juga sangat penting di banyak negara di Eropa, khususnya Eropa Barat. Di Belanda, misalnya, jumlah UKM sekitar  95% dari jumlah perusahaan di negara kicir angin tersebut (Bijmolt dan Zwart, 1994).  Namun, dilihat dari sumbangannya terhadap pembentukan PDB dan ekspor non-migas, khususnya produk-produk manufaktur, peran UKM di NSB masih relatif rendah, dan ini sebenarnya perbedaan yang menyolot dengan UKM di NM. Pertanyaannya evaluasi yang komprehensif terhadap kinerja koperasi di dalam perekonomian nasional sangat sulit. Namun demikian, dari sekian banyak tulisan di media masa, ada satu gambaran  yang jelas bahwa kinerja koperasi di Indonesia selama ini memang relatif buruk.Di sisi lain, cukup banyak literatur mengenai kinerja koperasi di NM, khususnya di AS dan sejumlah negara di Eropa yang semuanya menunjukkan kinerjanya sangat bagus. Bahkan banyak koperasi di misalnya AS yang memiliki omset sangat besar dan merupakan pesaing besar terhadap perusahaan non-koperasi.
II.Kerangka Pikiran
II.1 Identifikasi karakteristik koperasi dan UKM yang berdaya saing yang diinginkan;
Daya saing adalah sebuah konsep yang cukup ruwet. Tidak ada satu indikator-pun yang bisa digunakan untuk mengukur daya saing, yang memang sangat sulit untuk diukur (Markovics, 2005). Namun demikian, daya saing adalah suatu konsep yang umum digunakan di dalam  ekonomi, yang biasanya merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan-perusahaan dan keberhasilan dalam persaingan internasional dalam kasus negara-negara. Dalam dua dekade terakhir, seiring dengan semakin mengglobalnya perekonomian dunia dan persaingan bebas, daya saing telah menjadi satu dari konsep-konsep kunci bagi perusahaanperusahaan, negara-negara, dan wilayah-wilayah untuk bisa berhasil dalam partisipasinya di dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia, seperti yang dikatakan berikut ini  on micro level the concept of competitiveness means the skill of position gain and self-maintainment in the market competition among companies, each other’s competitors and – in respect of macro economy – among national economies (Lengyel 2005, dikutip di Markovics, 2005)   Dengan memakai konsep daya saing, Man dkk. (2002) membuat suatu model konsepsual untuk menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manager  atau pemilik UKM dan kinerja perusahaan jangka panjang. Model konsepsual untuk daya  saing UKM tersebut terdiri dari  empat elemen: skop daya saing perusahaan, kapabilitas organisasi dari perusahaan, kompetensi pengusaha/pemilik usaha, dan kinerja.
Hubungan antara kompetensi dan tiga elemen lainnya itu merupakan inti dari model tersebut, dan hubungan itu dapat dihipotesakan kedalam tigatugas prinsip pengusaha:
(a) membentuk skop daya saing
(b) menciptakan kapabilitas organisasi
(c) menetapkan tujuan-tujuan dan mencapainya.
Menurut studi ini, daya saing memiliki karakteristik, yakni potensi, proses. Selain tiga karakteristik tersebut, daya saing juga dicirikan oleh orientasi jangka panjang, kontrolabilitas,  relativitas, dan dinamika. Selain itu, studi ini menunjukkan bahwa ada tiga aspek penting yang mempengaruhi daya saing UKM, yakni:
(1) faktor-faktor internal perusahaan;
(2) lingkungan eksternal; dan
(3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha.
Selanjutnya, di dalam penelitian  ini, pengaruh dari pengusaha tersebut di tangani dengan pendekatan kompetensi dari sebuah proses atau perspektif perilaku. Dengan memakai hasil studi tersebut sebagai salah satu input, tulisan ini menyusun suatu kerangka pemikiran mengenai daya saing sebuah UKM sebagai berikut (Gambar 1). Daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dll.  Dua faktor pertama tersebut adalah aspek sumber daya manusia (SDM), yang mana, keahlian pekerja tidak hanya dalam teknik produksi (antara lan disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai bisnisnyadan juga lingkungan eksternalnya.pengusaha yang luas juga sangat penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia umum bahwa inovasi merupakan kunci utama daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan kemampuan UKM melakukan inovasi, diantaranya adalah  kreativitas pengusaha, dan  yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang ditekuninnya (Shahid, 2007).

Sebagai ilustrasi empiris, data BPS dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pendidikan formal (yang umum digunakan sebagai indikator tingkat keahlian) dari pengusaha di UKM di sektor industri manufaktur (Tabel 1). Dapat dilihat bahwa jumlah pengusaha UKM yang memiliki diploma universitas hanya sekitar 2,20 persen; walaupun tingkat ini bervariasi antara usaha kecil (UK) dan usaha menengah (UM). Ini bisa merupakan salah satu penyebab rendahnya kinerja atau daya saing UKM di Indonesia.

ketersediaan atau penguasaan teknologi. Hipotesanya adalah sebagai berikut: perusahaan dengan daya saing tinggi adalah perusahaan yang memiliki/menguasai teknologi yang paling baik (yang biasanya adalah teknologi terakhir yang ada) di dalam bidangnya. Aspek ini bisa diidentifikasi  dengan sejumlah indikator, diantaranya yang umum digunakan dan lebih bersifat proxy adalah tingkat produktivitas. Perusahaan berdaya saing tinggi biasanya juga merupakan perusahaan yang produktif
Sudah banyak literatur mengenai UKM di NSB yang menunjukkan bahwa salah satu ciri dari UKM adalah rendahnya tingkat produktivitas di kelompok usaha tersebut.Data BPS mengenai industri manufaktur menurut skala usaha juga menunjukkan hal yang sama: tingkat produktivitas tenaga kerja cenderung meningkat menurut skala usaha. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, rasio output terhadap tenaga kerja di UK (termasuk usaha mikro) jauh lebih rendah dibandingkan di UM dan UB

. Perusahaan yang
mampu melakukan inovasi, dalam produk, proses produksi, organisasi, manajemen, sistem pemasaran, dan
aspek-aspek bisnis lainnya, dapat dipastikan adalah perusahaan yang memiliki daya saing yang tinggi. Namun tidak gampang mengidentifikasi secara langsung perusahaan-perusahaan yang melakukan inovasi, apalagi inovasi dalam proses produksi atau marketing. Oleh karena itu ada sejumlah alat ukur yang dapat digunakan, dua diantaranya yang umum dipakai karena mudah menerapkannya selama ada data, adalah jumlah sertifikat menyangkut inovasi (misalnya ISO) yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, dan pengeluaran R&D. di Indonesia sama sekali tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang umum diterapkan di dalam dunia bisnis modern. Banyak UK di mana pengusaha mengerjakan semua kegiatan: produksi, pengadaan bahan baku, pemasaran, dan administrasi, dan tidak menerapkan pembukuan, atau kalau ya, dengan cara yang primitif.
II.2 Identifikasi Ukuran-ukuran Daya Saing bagi Koperasi dan UKM
Seperti telah dibahas sebelumnya (lihat Gambar  1), dalam mengukur daya saing koperasi dan UKM, harus dibedakan antara daya saing dari produk dan daya saing dari perusahaan. Tentu, daya saing dari produk terkait erat (atau mencerminkan) tingkat daya saing dari perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Indikator-indikator yang umum digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk dijabarkan di Tabel 4. Ini adalah indikator-indikator dasar, dan selanjutnya dari sini bisa dihitung sejumlah rasio yang umum digunakan di dalam penelitian-penelitian empiris mengenai  daya saing di dalam perdagangan  internasional, seperti misalnya revealed comparative advantage (RCA), constant market share, similarity index, complementarity index, export product dynamics, dan banyak lagi. Menurut  Long (2003), kemampuan SMEs untuk melakukan ekspor juga merupakan salah satu faktor yang krusial dalam mengukur daya saing globalnya.


II.3 Prasyarat dan Strategi Pencapaian Daya Saing Yang Tinggi
Di kelompok usaha ini, pengusaha akan selalu berperan penting, karena pada umumnya pengusaha atau pemilik usaha merupakan penggerak utama perusahaan. Ini artinya, kreativitas, spirit entrepreneurship dan jiwa inovatif dari pengusaha yang didukung oleh keahlian dari para pekerjanya adalah sumber utama peningkatan daya saing UKM.
Upaya peningkatan kemampuan produksi termasuk peningkatan kemampuan teknologi dan kemampuan disain. Sedangkan upaya peningkatan kemampuan pemasaran termasuk promosi, distribusi dan pelayanan  pasca penjualan. Kedua penekanan ini sangat penting, dan pada umumnya UKM di Indonesia kalah bersaing dengan UB atau UKM dari NM karena kurang memperhatikan atau kurang mampu di dalam dua bidang ini. UKM di Indonesia, paling tidak sebagian besar, bukan saja lemah dalam 20teknologi tetapi juga lemah atau kurang memberikan pertahian dalam strategi pemasaran. Padahal, banyak kasus, menunjukkan bahwa sebuah produk yang dilihat dari aspek teknologinya biasa-biasa saja, namun sangat laku hanya karena pemasarannya yang agresif
Salah satu yang umum disarankan di dalam literatur mengenai UKM adalah mengembangkan UKM yang kompetitif dengan pendekatan  clustering. Kerjasama internal yang erat antar sesama UKM di dalam sebuah klaster (atau sentra industri) dalam pemasaran, pengadaan bahan baku, R&D, dll. dan kerjasama eksternal antara klaster dengan pihak-pihak lain di luar klaster seperti  perbankan, lembaga R&D/universitas, BDS (business development services), departemen pemerintah, UB (misalnya lewat subcontracting), kadin, asosiasi bisnis, dll. akan menghasilkan keuntungan aglomorasi karena kerjasama seperti itu menghasilkan efisiensi yang tinggi, dibandingkan UKM yang beroperasi sendiri-sendiri. Sedangkan intervensi langsung adalah seperti yang telah banyak dilakukan pemerintah sejak Orde Baru hingga saat ini dalam upaya membantu UKM, mulai dari pemberian skim-skim kredit khusus hingga berbagai macam pelatihan.
III. Rekomendasi Kebijakan dan Program
Sejak era Orde Baru hingga sekarang sudah banyak sekali upaya pemerintah membantu perkembangan UKM dan koperasi dalam bentuk beragam program, mulai dari pemberian kredit murah hingga bantuan teknis. untuk meningkatkan daya saing global dari UKM dan koperasi di Indonesia, ketiga butir di atas harus berubah. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah harus sepenuhnya  tertuju pada upaya peningkatan kemampuan teknologi’pengetahuan dalam produksi, manajemen dan pemasaran. Fokus dari bantuan harus pada capacity building dengan inovasi (dalam produksi, manajemen dan pemasaran) sebagai motor penggerak utama.  Untuk mendukung perubahan strategi ini, maka arah kebijakan pengembangan UKM dan koperasi di masa depan yang tujuan utamanya adalah meningkatkan daya saing dari UKM dan koperasi adalah seperti yang dijabarkan di Tabel 1.1

Kesimpulan
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lemahnya kinerja UKM dan koperasi di NSB pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya adalah karena daya saing dari kedua kelompok usaha tersebut relatif rendah dibandingkan UB. Sedangkan alam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini dan di masa depan daya saing menjadi sesuatu yang sangat penting. Tanpa daya saing yang baik, tidak mustahil bahwa UKM maupun koperasi di Indonesia suatu saat akan lenyap. Dengan alasan ini, maka kebijakan promosi UKM di banyak negara, baik kebijakan nasional maupun kebijakan dari lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia (atau Bank Pembangunan Asia untuk wilayah Asia) dan UNDP, dalam beberapa tahun belakangan ini semakin fokus pada  peningkatan daya saing. Bahkan di APEC, kelompok kerja khusus UKM saat ini punya banyak program untuk membantu upaya UKM di negaranegara anggota untuk meningkatkan  daya saing mereka, terutama di  bidang-bidang seperti pengembangan sumber daya manusia (SDM), perluasan akses ke keuangan dan informasi, dan pengembangan teknologi.  Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi variabel-variabel atau indikator-indikator yang tepat untuk digunakan sebagai pengukur daya saing UKM dan Koperasi di Indonesia
Daftar Pustaka
Aharoni, Y. (1994), “How Small Firms Can Achieve Competitive Advantages in an Interdependent World”, dalam T. Agmon dan R. Drobbnick (ed.), Small Firms in Global Competition, New York: Oxford University Press.
Albaladejo M. dan Romijn, H. (2000), “Assessment of competitiveness and technological performance of small UK firms”, laporan mengenai the targeted socio-economic research  programme on the EU project SMEs in Europe and East Asia: competition, collaboration and lessons for policy support. European Union, DGXII.  \
Altenburg, T., Hillebrand, W, dan Meyer-Stamer, J. (1997), “Policies for building systemic  competitiveness: conceptual framework and case studies of Republic of Korea, Brazil, Mexico and Thailand”, makalah dipresentasikan dalam Seminar, “New Trends and Challenges in Industrial Policy”, UNIDO, Vienna, 16-17 October 1977.
APEC (2006), “A Research on the Innovation Promoting Policy for SMEs in APEC” Survey and Case Studies”, Desember, APEC SME Innovation Center, Korea Technology and Information Promotion Agency for SMEs, Seoul.
Badrinath, R. (1997), “The SME and the Global Market Place: An Analysis of Competitiveness Constraints”, Geneva: UNCTAD/WTO International Trade Centre.
Barnes, J. dan Morris, M. (1999), “Improving operational competitiveness through firm-level clustering: a case study of the KwaZulu-Natal benchmarking club”, makalah dipresentasikan dalam Konferensi ILO, “Responding to the challenges of globalisation: local and regional initiatives to promote quality employment”, Bologna: 19-21 May.
Bell, M dan Albu, M (1999) “Knowledge Systems and Technological Dynamism in Industrial Clusters in Developing Countries”, World Development, 27(9):1715-1734.
Berry, A. dan Levy, B. (1999), “Technical, Marketing and Financial Support for Indonesia’s Small and Medium Industrial Exporters”, dalam Levy, B. Berry, A. dan Nugent, J.B., Fulfilling the Export Potential of Small and Medium Firms, Boston, MA: Kluwer Academic Publishers.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Review Jurnal Kaji Tindak Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuanagan Alternatif

Kaji Tindak Peningkatan Peran Koperasi Dan UKM Sebagai Lembaga Keuangan Alternatif

REVIEW JURNAL

Nama Kelompok:
Nuryana                                               25210226
Shinta Nur Amalia                            26210523
Yusuf  Fadillah                                   28210800
Yoga Wicaksana                                28210647
Crishadi Juliantoro                           21210630


KAJI TINDAK PENINGKATAN PERAN KOPERASI DAN UKM SEBAGAI
LEMBAGA KEUANGAN ALTERNATIF

Abstrak
Penilaian ini memiliki tujuan suatu
a). Untuk menilai efektivitas dan efisiensi pembiayaan alternatif institusi dan perannya dalam sistem pembiayaan dan UKM Koperasi;
b). Untuk merumuskan strategi dan program tindakan untuk meningkatkan peran alternatif pembiayaan lembaga dalam sistem pembiayaan UKM dan Koperasi.

Penilaian dilakukan dalam sembilan (9) propinsi dengan BMT mempelajari objek dalam bentuk dan KSM Sa’riah Koperasi. Sampel ditentukan melalui analisis purposive dan data dengan menggunakan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BMT sangat efektif dan efisien dalam melayani permintaan pembiayaan modal kerja jangka pendek bagi usaha mikro & usaha kecil. Dalam melakukan bisnis, BMT menggunakan prinsip penyajian yang sederhana, murah dan cepat. Di tengah-tengah krisis ekonomi dan skala runtuhnya bank-bank besar, tetapi aset BMT tumbuh di kisaran 200% sampai 500% per tahun. BMT bisnis memperoleh keuntungan yang signifikan dan keuntungan bagi pemiliknya. Kredit prosedur aplikasi tidak rumit, dalam waktu relatif singkat waktu, ada persyaratan agunan, dan jaminan adalah dorong para pemimpin informal atau lokal pemerintah yang sangat tahu tentang karakter, kepribadian dan latar belakang debitur. Yang unik dari BMT dari lembaga pembiayaan lainnya adalah bahwa kepentingan / keuangan yang diberikan kepada klien / anggota selalu dibahas dan disepakati dan fleksibel. Jika debitur tidak dapat pengembalian pinjaman sama sekali dengan alasan kebangkrutan misalnya sehingga pinjaman akan terhapus. Dalam rangka posisi keuangan BMT tidak mengganggu oleh Baitul Maal.
  
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembinaan dan pengembangan koperasi dan UKM bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya sebagai bagian integral dalam perekonomian nasional. Tujuan lainnya untuk menumbuhkannya menjadi usaha yang efisien, sehat dan mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Dalam kenyataannya, koperasi dan UKM belum mampu menunjukkan perannya secara optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terjadi karena adanya hambatan dan kendala yang bersifat internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan UKM. Salah satu hambatan dan kendala dimaksud adalah lemahnya sistem pendanaan untuk membiayai aktivitas usahanya. Koperasi dan UKM mengalami kesulitan untuk mengakses sumbersumber permodalan atas lembaga keuangan terutama dari sektor perbankan.
Koperasi dan UKM belum mampu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C ( character, capacity, capital, collateral dan condition). Capital dan collateral adalah dua faktor yang paling sulit dipenuhi. Selain masalah 5C di atas, koperasi dan UKM mengalami berbagai masalah dalam memperoleh kredit bank, seperti bunga tinggi, jangkauan pelayanan bank yang masih terbatas.
Pada dasarnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, BMT yang didirikan Kelompok Swadaya Masyarkat (KSM) yang belum berbadan hukum koperasi tetapi menggunakan aturan main persis seperti koperasi. Kedua, BMT yang sudah berbadan hukum koperasi. Dengan adanya berbagai masalah tersebut, maka perlu dilakukan kaji tindak atas peran BMT sebagai lembaga keuangan alternatif.

2. Rumusan Masalah
Karena belum adanya penilaian terhadap kinerja lembaga keuangan alternatif dalam
mengembangkan program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka timbul pertanyaan
berikut:
1). Apakah usaha lembaga keuangan alternatif sudah efektif dan efisien dan
bagaimana peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
2). Bagaimana rumusan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga
keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM?
3. Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk:
1). Mengkaji efektivitas dan efisiensi usaha lembaga keuangan alternatif dan peranannya dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM.
2). Merumuskan strategi dan program aksi peningkatan peran lembaga keuangan alternatif dalam sistem pembiayaan koperasi dan UKM. Hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi bagi penyempurnaan kebijaksanaan yang dapat mendorong peningkatan peran koperasi jasa keuangan sebagai lembaga keuangan alternatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian
Beberapa ahli mendefinisikan lembaga keuangan alternatif sebagai lembaga pendanaan di luar sistem perbankan konvensional dengan sistem bunga. Lembaga keuangan alternatif meliputi Perusahaan Modal Ventura, Leasing, Factoring (anjak piutang), Guarantee Fund, Perbankan Syariah, Koperasi Syariah dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). Suhadi Lestiadi (1998), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lembaga keuangan alternatif adalah suatu lembaga pendanaan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat, dimana proses penyaluran dananya
dilakukan secara sederhana, murah dan cepat dengan prinsip keberpihakan kepada masyarakat kecil dan berazaskan keadilan. Dengan cara pandang dan pengertian lembaga pendanaan tersebut, maka istilah koperasi jasa keuangan diartikan sebagai koperasi yang menyelenggarakan jasa keuangan alternatif misalnya koperasi syariah dan Unit Simpan Pinjam Syariah, Kelompok Swadaya Masyarakat Pra Koperasi termasuk BMT, Koperasi Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Koperasi Pembiayaan Indonesia (KPI).
Menjadi pertanyaan, siapa yang pantas disebut lembaga keuangan alternatif? Ada yang
berpendapat bahwa lembaga keuangan alternatif yang menggunakan sistembagi hasil dianggap sebagai sistem non konvensional dibanding sistem bunga. Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang menjadi persoalan bukan sistem bagi hasil atau sistem bunganya itu, tetapi lebih mengacu pada kedekatan dan orientasi
pelayanannya yang harus memihak pada rakyat kecil.
Prinsip dari kegiatan lembaga ini adalah memobilisasi dana dari kelompok
masyarakat yang mengalami surplus dana dan kemudian mengalokasikannya
kepada kelompok masyarakat yang kekurangan dana atau masyarakat yang deficit
dana. Ada dua cara dalam menjalankan usahanya. Pertama, menganut sistem
bunga, artinya kepada setiap penyimpan diberikan bunga sebagai imbalan atas
tabungannya dan kepada setiap peminjam juga dikenakan bunga sebagai balas jasa
kepada pemilik dana. Kedua, menganut sistem syariah (bagi hasil) yang sering
disebut sistem Islam. Dalam Sistem Syariah, insentif bagi setiap penyimpan
diberikan dalam bentuk bagi hasil yang dihitung dari nisbah bagi hasil tertentu yang
disepakati kedua belah pihak. Bagi Si Peminjam, juga dikenakan sistem bagi hasil
tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
2. Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan istilah Balai Mandiri Terpadu (BMT) merupakan salah satu lembaga
pendanaan alternatif yang beroperasi di tengah masyarakat akar rumput. Pinbuk
(1995) menyatakan bahwa BMT merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang
berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam
meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan prinsip syariah
dn koperasi. BMT memiliki dua fungsi yaitu : Pertama, Baitul Maal menjalankan
fungsi untuk memberi santunan kepada kaum miskin dengan menyalurkan dana ZIS
(Zakat, Infaq, Shodaqoh) kepada yang berhak; Kedua, Baitul Taamwil menjalankan
fungsi menghimpun simpanan dan membeayai kegiatan ekonomi rakyat dengan
menggunakan Sistem Syariah.
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan. Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan), pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok pesantren, cendekiawan, tokoh
masyarakat, dosen dan pendidik. Peran serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran, penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998) menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki kekuatan antara lain:
a). mandiri dan mengakar di masyarakat,
b). bentuk organisasinya sederhana,
c). sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
d). memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro
Kelemahannya adalah :
a). skala  usaha kecil,
b). permodalan
terbatas,
c). sumber daya manusia lemah,
d). sistem dan prosedur belum baku.
U ntukmengembangkan lembaga tersebut dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara
pembinaan sbb:
a). pemberian bantuan manajemen,
b.) peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan, standarisasi sistem dan prosedur,
c). kerjasama dalam penyaluran dana,
d). bantuan dalam inkubasi bisnis.

Pola Tabungan dan Pembiayaan
1). Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah sebagai berikut: (1). Tabungan persiapan qurban; (2). Tabungan pendidikan; (3). Tabungan persiapan untuk nikah; (4). Tabungan persiapan untuk melahirkan; (5). Tabungan naik haji/umroh; (6). Simpanan berjangka/deposito; (7). Simpanan khusus untuk kelahiran; (8). Simpanan sukarela; (9). Simpanan hari tua; (10). Simpanan aqiqoh.
2). Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up
(1). Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan atas:
  • · Musyarakah, adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing.
  • · Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
  • · Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
  • · Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
  • · Wusaqot, adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
(2). Jual Beli dengan Mark Up (keuntungan)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa) melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga
beli tambah keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana. Jenis-jenisnya adalah:
  • · Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
  • · Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.

Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan
antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang
tertentu.
  • · Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil
pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu
dengan imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
  • · Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap
barang secara berangsur.
  • · Musyarakah Mustanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah
dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua
belah pihak yang berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
3). Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat sosial
dan tidak profit oriented. Sumber dan pembiayaan ini tidak membutuhkan biaya,
tidak seperti bentuk-bentuk pembiayaan lainnya.
4. Pembentukan BMT
Tujuan pembentukan BMT adalah untuk memperbanyak jumlah BMT sedangkan
tujuan BMT itu sendiri adalah untuk : 1) memajukan kesejahteraan anggota dan
masyarakat umum, 2) meningkatkan kekuatan dan posisi tawar pengusaha kecil
dengan pelaku lain. Proses pembentukan BMT adalah sebagai berikut:
Pertama, para pendiri minimum 20 orang. Para pendiri menghubungi PINBUK
setempat untuk mengurus perijinan pendiriannya. Kedua, mendaftarkan calon
pengelola untuk mengikuti pelatihan singkat dan magang. Ketiga, mempersiapkan
modal awal sebesar Rp. 5juta di pedesaan dan Rp.10juta di perkotaan. Keempat,
jika bermaksud menjadi koperasi, BMT dapat segera mengajukan permohonan
badan hukum koperasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan BMT adalah:
1). Motivator (penggerak), memiliki peranan yang sangat signifikan terhadap
sukses awal pendirian BMT. Penggerak ini berasal dari masyarakat setempat
yang atas inisiatif sendiri atau inisiatif PINBUK dan pihak lain berminat
membentuk BMT.
2). Pendekatan kepada tokoh kunci yang dapat terdiri dari pimpinan formal, pimpinan informal, usahawan, hartawan, dan dermawan. Para tokoh ini diharapkan bersedia menjadi Panitia Pembentukan BMT.
3). Pendekatan kepada para calon pendiri. Pendiri minimal 20 orang yang terdiri dari tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kalangan masyarakat seperti pimpinan formal, agama, adat, pengusaha dan masyarakat banyak. Badan pendiri mengadakan rapat dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga BMT serta memilih pengurus yang terdiri dari 3 – 5 orang.
4). Pengurus mengadakan seleksi pengelola yang jumlahnya minimal 3 orang yang terdiri manajer, bagian pembiayaan, bagian administrasi/keuangan dan bagian-bagian lain yang dibutuhkan
5). Para pengelola yang ditunjuk segera memasyarakatkan BMT dan mencari anggota dan BMT mulai beroperasi.
6). Antara pengurus dan pengelola tidak mempunyai hubungan kekeluargaan.
7). Organisasi yang dapat membentuk BMT antara lain seluruh anggota masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, organisasi sosial, organisasi profesi, LSM, proyek-proyek pemberdayaan masyarakat
8). Kelompok yang dapat dikembangkan menjadi BMT antara lain: arisan, simpan pinjam, pengajian, tani, usaha ekonomi produktif dan lain-lain

 5. Pembiakan BMT
BMT yang sudah mapan dan mempunyai pengelola yang terampil diharapkan dapat membentuk BMT baru di luar wilayah kerjanya. Langkah-langkah membentuk BMT adalah :
1) BMT yang sudah mapan sebagai BMT induk menempatkan seorang atau lebih pengelola yang terampil sebagai manajer BMT di wilayah kerja baru,
2) BMT induk memfasilitasi pembentukan BMT baru dan menyediakan sarana dan prasarana,
3) Pengelola BMT baru dibawah bimbingan BMT induk menyosialisasikan BMT pada masyarakat sekitar dan mulai beroperasi,
4) Pengelola BMT baru memperkuat BMT-nya dengan merekrut pendiri, membentuk pengurus
dan menghimpun modal awal dari masyarakat sekitar. BMT induk bisa melepas BMT baru apabila BMT baru sudah kuat dan mandiri.

III. METODE KAJIAN
1. Lokasi dan Objek Kajian
Kajian dilaksanakan di 9 (sembilan) propinsi yang meliputi : Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Objek telitian adalah BMT dan yang akan diteliti adalah aspek kelembagaan dan keuangan usaha BMT itu sendiri.
2. Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan yang berpedoman pada kuesioner yang sudah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan data sekunder diperoleh dari laporan instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah.
3. Penarikan Sampel
BMT, baik yang berbentuk KSM maupun koperasi di masing-masing propinsi dijadikan sebagai sampel, dengan total sampel 74 buah. Penarikan sampel (sampling) dilakukan dengan purposive atas BMT yang berada di lingkungan lembaga-lembaga keagamaan.
4. Model Analisis.
Data yang sudah terkumpul dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.
5. Organisasi Pelaksana dan Pembiayaan
Kajian ini ditangani satu tim yang terdiri dari Koordinator, Peneliti, Asisten Peneliti dan Staf Administrasi yang dibiayi dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara.

IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 74 BMT, dimana 71% diantaranya dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan 29% dalam bentuk koperasi. Pada saat penelitian dilakukan, sebagian KSM sedang dalam proses mendapatkan Badan Hukum Koperasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa mekanisme kerja antara kedua bentuk badan hukum tersebut sama. Dengan demikian yang mempengaruhi output kedua lembaga tersebut bukan terletak pada bentuk badan hukumnya tetapi ditentukan semata-mata oleh kemampuan Para Pengelola BMT.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
1). Dilihat dari prosedur pembiayaan dan jangkauan pelayanannya, BMT  merupakan lembaga keuangan alternatif yang sangat efektif dalam melayani kebutuhan pembiayaan modal kerja jangka pendek yang sangat diperlukan pengusaha kecil mikro. Dalam menjalankan usahanya, baik BMT yang berbentuk KSM maupun berbentuk koperasi menggunakan prinsip-prinsip
koperasi yang orientasi pelayanannya selalu berpegang pada prinsip sederhana, murah dan cepat.
2). Perkembangan asset BMT yang sangat cepat ditentukan adanya mobilisasi dana dari pihak ketiga serta cepatnya perputaran pengembalian pinjaman para nasabah yang selanjutnya dipinjamkan kepada nasabah lain.
3). Lembaga keuangan ini dapat menghasilkan profit yang cukup besar dan sangat menguntungkan para pemiliknya.
4). Pada umumnya BMT yang diteliti menggunakan pola pembiayaan mudharabah dan Bai Bitsaman Aji (BBA). Pola pembiayaan BBA punya keunggulan karena punya tingkat perputaran yang sangat tinggi, berisiko rendah dan memberikan margin keuntungan yang relatif besar.
5). Dasar pemberian pinjaman kepada nasabah adalah berupa penilaian kelayakan usaha, biaya administrasi sebesar 1% dan 2%. Pinjaman di bawah Rp.300.000,- tidak menggunakan jaminan. Yang menjadi jaminannya adalah kepercayaan yang diberikan pemuka masyarakat adat/agama atau pemerintah yang mengetahui secara mendalam jati diri si peminjam.
6). Jasa pinjaman/pembiayaan yang diberikan kepada nasabah/anggota selalu dimusyarahkan dan disepakati terlebih dahulu dan bersifat fleksibel. Jika debitur tidak mampu membayar pinjamannya karena alasan yang wajar, maka kesepakatan bisa ditinjau kembali. Jika samasekali tidak bisa mengembalikan karena pailit maka pinjaman diputihkan.
7). Untuk mendorong orang menabung, BMT menggunakan pola nisbah bagi
hasil, misalnya 65 :35 ( BMT : Penabung )
8). Analisis penilaian terhadap kesehatan kelembagaan BMT yang meliputi aspek pendirinya, keaktifan pengurus maupun kualitas pengelola dapat dinyatakan bahwa BMT yang diteliti dinyatakan sangat sehat.
9). Kesehatan keuangan BMT dinilai dari lima aspek yaitu struktur permodalan, kualitas aktiva produktif, likuiditas, efisiensi, dan rentabilitas. Dilihat dari kelima aspek tersebut maka BMT sampel yang diamati ada yang amat sehat, sehat, kurang sehat dan sangat tidak sehat.

Saran
1). Pembiakan BMT perlu dipercepat agar jumlah BMT semakin banyak ditengah-tengah masyarakat.
2). Perlu dilakukan kembali penilaian terhadap kebijakan penyediaan bantuan keuangan revolving fund dengan mengintrodusi dana padanan dari pemilik/pendiri.
3). Perlu dilakukan pengembangan sistem interlending antar BMT.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (1995). Pedoman Cara Pembentukan BMT. Pinbuk, Jakarta.
Anonim, (1995). Peraturan Dasar dan Contoh AD/ART BMT. PINBUK, Jakarta.
Anonim, (1995). Pedoman Penilaian Kesehatan BMT. PINBUK, Jakarta.
Lestiadi, Suhadji, (1998). Peranan Bank Muamalat Dalam Mengembangkan Lembaga
Keuangan Alternatif. Jakarta.
Masngudi, (1998). Koperasi Pembiayaan Indonesia. Jakarta.
Usman, Marzuki (1998). Strategi Pengembangan Pembiayaan Pengusaha Kecil, Menengah
dan Koperasi Menghadapi Perdagangan Bebas.
Kewirausahaan Muslim, (1996). “ Mitra Usaha Kecil” Pemberdayaan Ekonomi Rakyat.
Majalah PINBUK.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS